Strategi Bisnis Storytelling — Melalui perspektif historis, manusia memang menyenangi cerita. Cerita dapat menembus batas lintas generasi. Dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia hingga saat ini, salah satunya ditopang oleh cerita yang diturunkan turun temurun oleh generasi. Melalui cerita yang turun temurun itulah, banyak kebijaksanaan dan pembelajaran yang hingga saat ini dapat kita lestarikan, aplikasikan, hingga yakini dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi Bisnis Storytelling: The Art of Employer Branding is Storytelling vs Story-selling
Melalui perspektif historis, manusia memang menyenangi cerita. Cerita dapat menembus batas lintas generasi. Dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia hingga saat ini, salah satunya ditopang oleh cerita yang diturunkan turun temurun oleh generasi. Melalui cerita yang turun temurun itulah, banyak kebijaksanaan dan pembelajaran yang hingga saat ini dapat kita lestarikan, aplikasikan, hingga yakini dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya selama konteks yang sama atas ruang, waktu dan situasi pada zaman tersebut.
Suatu fakta bahwa ketika cerita itu diceritakan terus menerus, akan menumbuhkan akar emosional bagi siapapun yang mendengarnya. Seperti yang kita ketahui, bahkan di era teknologi sekalipun, bukankah perasaan dan intuisi manusia masih memegang peranan penting dalam berbagai pengambilan keputusan besar? Pikiran manusia digunakan ketika proses pengumpulan dan membandingkan fakta, namun yang akhirnya memutuskan tetaplah intuisi manusia.
Maka dari itu, seringkali kita temui pernyataan “menangkanlah hatinya!” dalam konteks ketertarikan antar individu. Kita tidak pernah menemukan pernyataan “menenangkan pikirannya”, tentu itu terkesan kompetitif dan kurang berkesan. Ketika hati seseorang atau banyak seseorang sudah dimenangkan, maka langkah selanjutnya apapun yang kita rencanakan atau lakukan, akan lebih mudah untuk dieksekusi. Hal itu dikarenakan manusia digerakkan terutama oleh hati, dan hati digerakkan oleh cerita dan pengalaman emosional.
Seberapa banyaknya pun data atau fakta matematis dan ilmiah yang dihadirkan, jika itu dikemas ke dalam format cerita, itu akan lebih muda menuntun hati kita untuk memutuskan. Itulah fondasi utama dari storytelling, yang hingga akhirnya menjadi pondasi penting bagi metode komunikasi yang kita jalankan dalam proses personal branding, corporate branding, product branding, hingga employer branding.
Setiap kegiatan branding yang efektif dan efisien, sangat tidak mungkin jika tidak melibatkan storytelling di dalamnya. Sudah banyak sekali brand besar dunia yang menikmati hasil luar biasa dari aplikasi storytelling dalam kegiatan branding yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kegiatan employer branding tanpa storytelling, ibarat makan roti tawar tanpa isian apapun di tengah-tengahnya. Bisa dimakan, namun hambar dan tidak menyiratkan kesan apapun.
Hal ini menyebabkan tidak adanya resonansi di benak pembacanya. Hanya sebatas memajang foto, video, atau teks reportase kegiatan perusahaan tanpa ada storytelling yang kuat dan berkesan adalah kegiatan yang kurang efektif. Hingga akhirnya terkesan sebagai dokumentasi biasa. Namun ketika dokumentasi sederhana dikemas dengan storytelling yang kuat, berkesan, dan beresonansi di benak pembacanya; maka itulah fondasi employer branding yang telah diletakkan dengan benar.
“Lalu, bagaimana kita memahami Employer Branding ini secara tepat, sesuai dengan kebutuhan kita sebagai pencari kerja atau peniti karier?”
Satu hal yang pasti adalah bahwa para pencari kerja dan peniti karier di zaman sekarang, sudah kritis terhadap citra, nama baik, dan kredibilitas perusahaan yang mereka jadikan tujuan lamaran kerja. Semakin tinggi awareness para pencari kerja dan peniti karier akan nama baik dan visibilitas citra perusahaan, maka semakin penting Employer Branding untuk dilakukan dengan baik dan benar oleh perusahaan-perusahaan dengan sistem manajemen modern. Singkat kata, Employer Branding adalah upaya meningkatkan visibilitas publik dan citra positif dari sebuah perusahaan, kepada kalangan pencari kerja dan peniti karier.
Lalu, apa tema storytelling dalam employer branding yang umumnya menarik perhatian pembacanya? Berdasarkan penelitian ilmiah dan juga pengalaman di banyak perusahaan berskala global, tema utamanya tidak jauh bergeser dari dua hal ini, yaitu,
1. Love (cinta kasih antar-sesama manusia)
2. Survival (perjalanan hidup, bagaimana seseorang sukses bertahan hidup)
Contohnya adalah kisah sukses almarhum Houtman Zainal Arifin, yang menapaki tangga karier dari Office Boy hingga menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Kisah nyata yang inspiratif ini terjadi beberapa dekade lalu, jauh sebelum ada istilah employer branding dan kehadiran media sosial. Citibank Indonesia telah terlebih dahulu melakukannya.
Siapakah yang namanya harum dalam kisah ini? Karyawan dan perusahaannya sekaligus. Baik almarhum Houtman Zainal Arifin maupun Citibank Indonesia, mendapatkan respek besar dari publik. Citibank Indonesia telah mempraktekkan employer branding secara nyata terlebih dahulu, di zamannya.
Tiga Karakter Individu untuk Menunjang Efektifitas Employer Branding
Tentunya harus kita ingat bersama bahwa Employer Branding semakin penting untuk dilakukan oleh sebuah perusahaan tatkala demografi karyawan milenial atau lebih muda, semakin banyak di tubuh organisasinya. Karena talenta muda hanya akan tertarik pada organisasi yang didiami oleh talenta muda lainnya. Hal itu akan lebih baik jika terlihat dari setiap langkah pembangunan visibilitas publik yang terjadi dalam proses Employer Branding.
Jika perusahaan itu berusaha untuk memodifikasi penampilan fisik kantornya demi terlihat lebih fresh dan modern, tentunya itu akan membantu. Namun esensi sesungguhnya dari Employer Branding adalah bagaimana sebuah perusahaan sanggup membangun narasi yang paling tepat bagi segmen talenta yang mereka tujukan. Misalnya, jangan sampai perusahaan tersebut mengharapkan untuk mendapatkan semakin banyak talenta dengan karakter dinamis, namun ternyata mereka salah membangun narasi, sehingga talenta yang menjalani proses rekrutmen adalah talenta yang berkarakter pasif. Employer Branding yang dilakukan menjadi sia-sia karena menuju arah yang tidak tepat.
1. Orang tekstual, yang mahir membangun dan mengelola narasi di hadapan publik.
2. Orang multimedia, baik foto maupun video, yang benar-benar mahir mendokumentasikan, mengolah, dan mengelola seluruh material dokumentasi perusahaan, menjadi suatu karya visual yang bermakna dan berdampak.
3. Orang media sosial, yang menguasai pemahaman akan perbedaan karakter berbagai kanal komunikasi sosial media, dan bersedia melakukan komunikasi intens (engagement) dengan para pembaca.
Ketiga jenis orang ini harus bekerjasama dengan sangat baik, dan dipimpin oleh perwira yang cakap dalam memahami teknik komunikasi kontemporer. Dengan perbedaan karakter pemirsa pada berbagai media sosial yang ada, orang media sosial dapat mengarahkan orang tekstual untuk membangun narasi yang paling tepat, dan dapat mengarahkan orang multimedia untuk membangun karakter visual yang tepat bagi setiap media sosial.
Dampak Employer Branding akan lebih berkekuatan besar jika didukung oleh Personal Branding pemimpin tertinggi atau para karyawan perusahaan itu yang juga transparan dapat diakses oleh publik. Misalnya, Bill Gates sebagai Founder Microsoft Corporation, sering menulis di Fan Page pribadinya di LinkedIn, dan sering mengundang netizen untuk menaruh Like atau Comment bernada positif. Employer Branding yang bahu-membahu dengan Personal Branding para pemimpin dan karyawan perusahaan tersebut, akan menjadi kekuatan visibilitas publik yang berpengaruh.
Setiap perusahaan yang mengemas semangat cinta kasih (love) dan keberlangsungan hidup (survival) dalam alur storytelling diproses employer branding yang mereka lakukan di media sosial, dipastikan akan menikmati kekuatan besar hasil employer branding itu; salah satunya berupa kemudahan mendapatkan talenta-talenta berkualitas ketika mengadakan proses rekrutmen (yang tentunya didukung oleh sejumlah aspek positif lainnya dalam tubuh organisasi / perusahaan).
Sekali lagi, tentunya kualitas storytelling dan employer branding yang dilakukan oleh perusahaan, seharusnya didahului oleh praktek nyata dalam tubuh organisasi perusahaan itu terlebih dahulu, agar employer branding yang mereka lakukan jangan sampai hanya menjadi kampanye manis namun kenyataannya ternyata berupa pepesan kosong.
Karena tema besar organisasi perusahaan di seluruh dunia sudah bergeser, dari yang tadinya employee retention (era Boomer & Gen X), bergeser menjadi employee engagement (era Millennials), hingga kini menjadi employee experience (era Gen Y dan lebih muda). Karena kata “experience” itulah, maka faktor “hati” dan “pengalaman emosional” dalam berkarir, menjadi sangat penting untuk dirasakan sendiri oleh para karyawan, dan diangkat ke dalam proses storytelling, agar menjadi roh dan jiwa employer branding yang kita lakukan di berbagai media komunikasi.
Setelah membahas habis mengenai storytelling, dapat diamati pada Perusahaan Mitran Pack yang selalu berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dan menjaga kepercayaan pelanggannya. Hal ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan branding perusahaan. Peningkatan mutu dan layanan, juga termasuk pengaplikasian storytelling lho
Melalui perspektif historis, manusia memang menyenangi cerita. Cerita dapat menembus batas lintas generasi. Dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia hingga saat ini, salah satunya ditopang oleh cerita yang diturunkan turun temurun oleh generasi. Melalui cerita yang turun temurun itulah, banyak kebijaksanaan dan pembelajaran yang hingga saat ini dapat kita lestarikan, aplikasikan, hingga yakini dalam kehidupan sehari-hari.
Tentunya selama konteks yang sama atas ruang, waktu dan situasi pada zaman tersebut. Suatu fakta bahwa ketika cerita itu diceritakan terus menerus, akan menumbuhkan akar emosional bagi siapapun yang mendengarnya. Seperti yang kita ketahui, bahkan di era teknologi sekalipun, bukankah perasaan dan intuisi manusia masih memegang peranan penting dalam berbagai pengambilan keputusan besar? Pikiran manusia digunakan ketika proses pengumpulan dan membandingkan fakta, namun yang akhirnya memutuskan tetaplah intuisi manusia.
Maka dari itu, seringkali kita temui pernyataan “menangkanlah hatinya!” dalam konteks ketertarikan antar individu. Kita tidak pernah menemukan pernyataan “menenangkan pikirannya”, tentu itu terkesan kompetitif dan kurang berkesan. Ketika hati seseorang atau banyak seseorang sudah dimenangkan, maka langkah selanjutnya apapun yang kita rencanakan atau lakukan, akan lebih mudah untuk dieksekusi.
Hal itu dikarenakan manusia digerakkan terutama oleh hati, dan hati digerakkan oleh cerita dan pengalaman emosional. Seberapa banyaknya pun data atau fakta matematis dan ilmiah yang dihadirkan, jika itu dikemas ke dalam format cerita, itu akan lebih muda menuntun hati kita untuk memutuskan. Itulah fondasi utama dari storytelling, yang hingga akhirnya menjadi pondasi penting bagi metode komunikasi yang kita jalankan dalam proses personal branding, corporate branding, product branding, hingga employer branding.
Setiap kegiatan branding yang efektif dan efisien, sangat tidak mungkin jika tidak melibatkan storytelling di dalamnya. Sudah banyak sekali brand besar dunia yang menikmati hasil luar biasa dari aplikasi storytelling dalam kegiatan branding yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kegiatan employer branding tanpa storytelling, ibarat makan roti tawar tanpa isian apapun di tengah-tengahnya. Bisa dimakan, namun hambar dan tidak menyiratkan kesan apapun.
Hal ini menyebabkan tidak adanya resonansi di benak pembacanya. Hanya sebatas memajang foto, video, atau teks reportase kegiatan perusahaan tanpa ada storytelling yang kuat dan berkesan adalah kegiatan yang kurang efektif. Hingga akhirnya terkesan sebagai dokumentasi biasa. Namun ketika dokumentasi sederhana dikemas dengan storytelling yang kuat, berkesan, dan beresonansi di benak pembacanya; maka itulah fondasi employer branding yang telah diletakkan dengan benar.
“Lalu, bagaimana kita memahami Employer Branding ini secara tepat, sesuai dengan kebutuhan kita sebagai pencari kerja atau peniti karier?”
Satu hal yang pasti adalah bahwa para pencari kerja dan peniti karier di zaman sekarang, sudah kritis terhadap citra, nama baik, dan kredibilitas perusahaan yang mereka jadikan tujuan lamaran kerja. Semakin tinggi awareness para pencari kerja dan peniti karier akan nama baik dan visibilitas citra perusahaan, maka semakin penting Employer Branding untuk dilakukan dengan baik dan benar oleh perusahaan-perusahaan dengan sistem manajemen modern. Singkat kata, Employer Branding adalah upaya meningkatkan visibilitas publik dan citra positif dari sebuah perusahaan, kepada kalangan pencari kerja dan peniti karier.
Lalu, apa tema storytelling dalam employer branding yang umumnya menarik perhatian pembacanya? Berdasarkan penelitian ilmiah dan juga pengalaman di banyak perusahaan berskala global, tema utamanya tidak jauh bergeser dari dua hal ini, yaitu,
1. Love (cinta kasih antar-sesama manusia)
2. Survival (perjalanan hidup, bagaimana seseorang sukses bertahan hidup)
Contohnya adalah kisah sukses almarhum Houtman Zainal Arifin, yang menapaki tangga karier dari Office Boy hingga menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Kisah nyata yang inspiratif ini terjadi beberapa dekade lalu, jauh sebelum ada istilah employer branding dan kehadiran media sosial. Citibank Indonesia telah terlebih dahulu melakukannya. Siapakah yang namanya harum dalam kisah ini? Karyawan dan perusahaannya sekaligus. Baik almarhum Houtman Zainal Arifin maupun Citibank Indonesia, mendapatkan respek besar dari publik. Citibank Indonesia telah mempraktekkan employer branding secara nyata terlebih dahulu, di zamannya.
Tiga Karakter Individu untuk Menunjang Efektifitas Employer Branding
Tentunya harus kita ingat bersama bahwa Employer Branding semakin penting untuk dilakukan oleh sebuah perusahaan tatkala demografi karyawan milenial atau lebih muda, semakin banyak di tubuh organisasinya. Karena talenta muda hanya akan tertarik pada organisasi yang didiami oleh talenta muda lainnya. Hal itu akan lebih baik jika terlihat dari setiap langkah pembangunan visibilitas publik yang terjadi dalam proses Employer Branding.
Jika perusahaan itu berusaha untuk memodifikasi penampilan fisik kantornya demi terlihat lebih fresh dan modern, tentunya itu akan membantu. Namun esensi sesungguhnya dari Employer Branding adalah bagaimana sebuah perusahaan sanggup membangun narasi yang paling tepat bagi segmen talenta yang mereka tujukan. Misalnya, jangan sampai perusahaan tersebut mengharapkan untuk mendapatkan semakin banyak talenta dengan karakter dinamis, namun ternyata mereka salah membangun narasi, sehingga talenta yang menjalani proses rekrutmen adalah talenta yang berkarakter pasif. Employer Branding yang dilakukan menjadi sia-sia karena menuju arah yang tidak tepat.
1. Orang tekstual, yang mahir membangun dan mengelola narasi di hadapan publik.
2. Orang multimedia, baik foto maupun video, yang benar-benar mahir mendokumentasikan, mengolah, dan mengelola seluruh material dokumentasi perusahaan, menjadi suatu karya visual yang bermakna dan berdampak.
3. Orang media sosial, yang menguasai pemahaman akan perbedaan karakter berbagai kanal komunikasi sosial media, dan bersedia melakukan komunikasi intens (engagement) dengan para pembaca.
Ketiga jenis orang ini harus bekerjasama dengan sangat baik, dan dipimpin oleh perwira yang cakap dalam memahami teknik komunikasi kontemporer. Dengan perbedaan karakter pemirsa pada berbagai media sosial yang ada, orang media sosial dapat mengarahkan orang tekstual untuk membangun narasi yang paling tepat, dan dapat mengarahkan orang multimedia untuk membangun karakter visual yang tepat bagi setiap media sosial.
Dampak Employer Branding akan lebih berkekuatan besar jika didukung oleh Personal Branding pemimpin tertinggi atau para karyawan perusahaan itu yang juga transparan dapat diakses oleh publik. Misalnya, Bill Gates sebagai Founder Microsoft Corporation, sering menulis di Fan Page pribadinya di LinkedIn, dan sering mengundang netizen untuk menaruh Like atau Comment bernada positif. Employer Branding yang bahu-membahu dengan Personal Branding para pemimpin dan karyawan perusahaan tersebut, akan menjadi kekuatan visibilitas publik yang berpengaruh.
Setiap perusahaan yang mengemas semangat cinta kasih (love) dan keberlangsungan hidup (survival) dalam alur storytelling diproses employer branding yang mereka lakukan di media sosial, dipastikan akan menikmati kekuatan besar hasil employer branding itu; salah satunya berupa kemudahan mendapatkan talenta-talenta berkualitas ketika mengadakan proses rekrutmen (yang tentunya didukung oleh sejumlah aspek positif lainnya dalam tubuh organisasi / perusahaan).
Sekali lagi, tentunya kualitas storytelling dan employer branding yang dilakukan oleh perusahaan, seharusnya didahului oleh praktek nyata dalam tubuh organisasi perusahaan itu terlebih dahulu, agar employer branding yang mereka lakukan jangan sampai hanya menjadi kampanye manis namun kenyataannya ternyata berupa pepesan kosong.
Karena tema besar organisasi perusahaan di seluruh dunia sudah bergeser, dari yang tadinya employee retention (era Boomer & Gen X), bergeser menjadi employee engagement (era Millennials), hingga kini menjadi employee experience (era Gen Y dan lebih muda). Karena kata “experience” itulah, maka faktor “hati” dan “pengalaman emosional” dalam berkarir, menjadi sangat penting untuk dirasakan sendiri oleh para karyawan, dan diangkat ke dalam proses storytelling, agar menjadi roh dan jiwa employer branding yang kita lakukan di berbagai media komunikasi.
Setelah membahas habis mengenai storytelling, dapat diamati pada Perusahaan Mitran Pack yang selalu berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dan menjaga kepercayaan pelanggannya. Hal ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan branding perusahaan. Peningkatan mutu dan layanan, juga termasuk pengaplikasian storytelling lho